
PANJAK SINTREN CERITA PENDEK BERBALUT MISTIS
Panjak
Sintren
Oleh : Tri Lestari, S.Pd.
Panas
matahari merebak menembus setiap pori-pori yang tak terselimuti. Memaksa
tetesan keringat keluar dari sarangnya. Desiran angin kurang berperan dalam
membuai daun-daun pohon yang merunduk kehausan. Terdengar suara beradu antara
tampah dan beras-beras di belakang rumah Marni. Ternyata De Sartem (ibu dari Marni) yang sedang memilah-milah
beras agar segera dapat dimasak. Marni baru
saja menyiram halaman depan rumahnya agar tanah yang kering itu basah sehingga
tidak terlalu menimbulkan hawa panas. Saat Marni menuju belakang rumah untuk menaruh
ember, tidak sengaja ia mendengar keluhan De Sartem atas hidup yang mereka jalani.
“Duh Gusti, kapan yo aku
biso
mangan
enak ora kudu milih-milih krikil lan tumo ing beras iki. Saben dino kok yo ngene terus Gusti..Gusti.. Ibarate sikil digawe sirah, sirah
digawe sikil. Bedo
karo wong-wong sing
nganggo jas lan desi, kerjane gur njagok cekelan pulpen, mangane enak, duwete okeh, terjamin maneh uripe! Huh! Naseb...naseb...kudu nrimo
pandum.” Sambil membuangi kerikil dan kutu
yang ada diberas, De Sartem terus bergumam dengan raut muka yang sedih dan
kesal. Marni yang tak tega melihat ibunya terus-terusan seperti itu, ingin
segera bekerja ke luar kota. Tetapi,
karena usianya yang masih 13 tahun dan
belum pernah keluar dari kampung
halaman tanpa
pengawasan orang tuanya pun
tidak berani menjalankan keinginannya itu. Apalagi De Saleh, ayah Marni yang
bersifat tegas itu sudah pasti tidak akan mengijinkan anak semata wayangnya untuk
pergi bekerja keluar kota.
Beliau berusaha keras agar dapat menghidupi keluarganya dengan bekerja sebagai
buruh cangkul
dan memanfaatkan sedikit lahan peninggalan orang tuanya untuk ditanami singkong
dan ketela rambat. Sehingga,
hasilnya dapat dijual atau dikonsumsi sendiri sebagai pengganti nasi.
Seperti
biasa, sebelum adzan dzuhur berkumandang, De Sartem dan Marni mulai menyiapkan
makan siang agar ketika
bapaknya pulang ada sesuatu yang dapat dimakan sebagai pengganjal perut untuk
bekal mencangkul. Marni sibuk menanak nasi, sedangkan De Sartem mengambil ikan
asin yang dijemur di atap rumah mereka. “Mar, nek banyune kui wes umub berase cemplungke yo, simak arep ngentas
gereh karo tuku
trasi neng Lek Rayu!” teriak
De Sartem sambil meletakkan beras yang telah dicucinya. “Nggeh Mak!? Saben dino kerjaan mung ning pawon,
kapan aku biso
koyo Ibu
Kartini. Jarene jaman
kemajuan, cah wadok derajate podo
koyo cah lanang, tapi Simak karo Pa’e ora tau ngijinke aku mrantau
golek duet ben biso mangan
enak lan sukur-sukur biso tuku wedak pupur” kata Marni sambil
memasukkan kayu kedalam tungku.
Marni
yang sedang sibuk memasak tiba-tiba dikagetkan oleh kedatangan
teman-temannya. “Dooorr!!” marni yang
sedang menyalakan api dengan potongan bambu alias nyemprong, dikagetkan oleh Sumari, Aseh dan Rum dari arah belakang. Ceplak!!
Seketika semprong yang dipegang Marni terjatuh. “Dolan yok Mar, ning omah kongkoni Simak trus”
kata Aseh
sambil mencolek bahu Marni. “Ealah, cah wadok kok males ngono! Nek jare Simakku mundak ora ono sing ngepek mantu. Mbok koyo aku iki wes resik-resik trus tinggal dolan rapopo wes ayem tentrem” kata Rum sambil jongkok
di samping Marni. Lha iyo, resik-resik isine piring tho?!”
celetuk Sumari sambil mendorong kepala Rum. “Wes..wes.. ora usah padu! Podo-podo males wae kok
ribut. Ngapurone, aku ora biso melu dolan. Weruh dewe ki lho jek ngliwet,
opo…ngene wae, awake dewe dolan sintrenan ning kene?”
Marni memberi usulan agar mereka
bermain sintren di dapur rumahnya.
Setelah
mereka setuju, akhirnya Marni mengambil kurungan ayam dan kain jarik sebagai penutup kurungan. Sumari bertugas menjadi
sintren, sedangkan Marni, Aseh
dan
Rum yang menjadi panjaknya dan bertugas menyanyikan atau menembangkan lagu-lagu
sintren. Sementara itu, di samping rumah Marni, Rasono berjalan sambil
memegangi sendal jepitnya yang putus. “Apes tenan, sandal dinggo kok rewel! Simak pancen medit sandal bodhol kok diopeni trus. Wingi janji meh numbaske, jebul janji-janji ora ono
ono nyotone! Angel..angel!”.
Tidak sengaja Rasono mendengar tembang-tembang sintren dari arah dapur
Marni. Rasono penasaran dan mendekat, ia melihat Marni, Sumari, Aseh dan Rum sedang asik bermain sintren.
Memang dasarnya Si Rasono
anak yang usil, ia secara diam-diam menyelinap masuk dan menaburkan kemenyan ke
dalam tungku. Seketika bau menyan menyeruak keseluruh ruangan.
Saat
itu adzan dzuhur berkumandang, menandakan wayah tengangi atau bagi orang Jawa
pamali untuk bermain hal
aneh-aneh
atau berbau mistis, sebab
hal itu bisa saja benar-benar terjadi.
Benar saja, setelah bau kemenyan menusuk hidung, seketika itu pula Sumari
meronta-ronta dari dalam kurungan dan menangis. Marni dan kawan-kawan panik,
dan segera membuka kurungan tersebut. Dari balik pagar dapur Marni, Rasono
tertawa bangga. Ketika itu, De Sartem pulang dan memergoki Rasono yang sedang
mengintip di pagar dapur rumahnya. Rasono merasa kaget dan takut kalau-kalau
ulahnya ketahuan. Ia pun segera pergi
dengan langkah gontai sambil celingusan. Sementara itu, kemenyan yang tadi
dibelinya terjatuh. Padahal ia membeli kemenyan tersebut karena disuruh
oleh kakeknya, namun karena panik ia
tidak menghiraukan.
De
Sartem bingung melihat tingkah Rasono yang aneh, tidak sengaja ia melihat kemenyan
itu dan mengambilnya. Mendengar suara gaduh dari arah dapur, De Sartem segera
masuk dan mendapati
Sumari sudah menjadi sintren. Melihat hal itu, tanpa banyak bicara De Sartem segera pergi
ke rumah Mbah Ranyat. Mbah Ranyat adalah orang pintar yang dapat melihat
sesuatu yang gaib dan dapat menyembuhkan
orang yang kerasukan. Mbah Ranyat datang dan segera menyembuhkan Sumari, lalu menyuruh De Sartem untuk
menghilangkan bau kemenyan tersebut. Sementara De Saleh ayah Marni baru saja
tiba dirumah, belum sempat masuk rumah beliau sudah dicegat warga dan
memberitahukan
kejadian dirumahnya. De Saleh kaget dan segera masuk menuju dapur rumahnya,
namun keadaan rumahnya sudah sepi karena Sumari sudah sadar dan warga sudah
pulang kerumah masing-masing. De Saleh yang sudah mengetahui kejadian
sebenarnya pun hanya diam dan segera menuju sumur atau kamar mandi untuk bersih-bersih dan berwudhu
untuk menunaikan ibadah shalat Dzuhur. Beliau memang kurang suka terhadap hal-hal
seperti itu, ia sering menasihati anak dan istrinya agar tidak ikut campur
dengan permainan yang berbau mistis seperti itu.
Setelah
kejadian tersebut, banyak warga yang berdesas-desus membicarakan kejadian
tersebut. Tak terkecuali bapak-bapak yang sedang bekerja mencangkul di kebun.
“De Saleh, kepie to anake njenengan iku kok yo ono-ono dolanane. Dolanan sintren kok ditawuri menyan tenan,
yo
kedadean tenan
tho!”
kata salah satu bapak yang juga buruh macul bersama De Saleh. De Saleh yang
memang pendiam pun hanya tersenyum sambil mengambil bumbung tempat air dan
segera meminumnya. Semakin banyak bapak-bapak yang menimpali omongan yang satu
ke yang lain, De Saleh merasa risih dan segera menjelaskan kejadian yang
sebenarnya bahwa hal tersebut adalah ulah dari Rasono. “Oalah…, cah jaman saiki kokean polah ora tau mirengke
omongane wong sepuh. Nek
wes kedadean koiki gelem ora gelem kudu nanggap
sintren 40 dino!”
ujar salah satu bapak buruh cangkul.
Malam
semakin terselimuti dingin, berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Malam ini
sepi sekali, sebab anak-anak desa tidak ada yang bermain sampai larut. Mereka
masih takut dengan kejadian tadi siang. Selain itu, para orang tua merasa takut
jika anak-anaknya bermain
hal aneh atau mistis seperti yang dilakukan Marni dan
teman-temannya. Di atas dipan bambu,
Marni belum bisa memejamkan matanya. Ia masih teringat kejadian tadi siang. Ia
pun menyesal dan merasa bersalah karena telah mengusulkan permainan sintren
kepada teman-temannya. Sampai adzan subuh berkumandang mata Marni belum bisa terpejam. Ia segera
bangun keluar sebab pasti sebentar lagi bapaknya juga akan membangunkannya
untuk shalat. Setelah shalat,
Marni berbaring di dipan bambunya.
Kali ini matanya mulai sayup-sayup dan akhirnya terpejam.
Terdengar
kicauan burung dan kokok ayam dari arah luar kamar Marni. Tok...tok..tok.., De
Sartem mengetuk pintu kamar Marni namun tidak ada balasan. “Lho kepie cah iki, ora biasane jam 6 isih turu”. De Sartem bertanya-tanya, sebab tidak biasanya setelah shalat
subuh Marni tidur lagi. Ia biasanya bergegas ke dapur untuk bersih-bersih.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu kamar, Marni terbangun dan bergegas keluar.
“Maaf Mak,
aku keturon rasane
kok ya ngantuk banget.” De Sartem yang masih berdiri didepan pintu kamarnya
merasa kaget karena mata Marni merah dan kelihatan pucat. Marni berlalu melewati ibunya dan segera menuju dapur
untuk melaksanakan tugasnya. Ternyata pekerjannya itu sudah diselesaikan
olek ibunya. “Wes kono nyuci wae!?” kata De Sartem sambil tersenyum
kepada Marni. Marni segera mengambil baju-baju kotor dan menaruhnya di ember, lalu segera menuju ke sungai
tempat ia biasa mencuci.
Hari
menjelang petang, suara adzan maghrib berkumandang tetapi rumah Sumari ramai dibanjiri
warga kampung. Mereka datang untuk melihat Sumari yang kerasukan. Di sana sudah
ada Mbah Ranyat, beliau menyuruh
beberapa warga untuk menyiapkan perlengkapan sintren serta memanggil
teman-teman Sumari yang kemarin ikut bermain sintrenan, tak terkecuali Rasono.
Acara sintren harus dilaksanakan di dapur tempat kejadian Sumari kerasukan. Setelah semuanya
sudah siap, Sumari dimasukkan ke dalam kurungan yang telah tertutup jarik dan didalam kurungan sudah tersedia
kacamata, jarik
dan kemben, ikat kepala yang sudah diberi hiasan bunga, dan beberapa alat make-up. Setelah beberapa menit, keluarlah
Sumari dari kurungan. Sumari sudah mengenakan pakaian kebaya yang anggun dengan dandanan yang
cantik sempurna. Marni dan kawan-kawan yang bertugas menjadi panjak pun
menyanyikan tembang sintren.
Mbang kembang mbako
Mencoronge kacane ijo
Kupu tarung loro-loro
Sintren metu kembange ngrampyo
Mendengar
tembangan itu, Sumari bergerak dengan luwesnya. Ia menari lenggak-lenggok
mengikuti irama musik dan alunan tembang-tembang sintren. Mendengar ada sintren
Sumari, warga desa berbondong-bondong menuju rumah Marni. Banyak pula yang
menyawer dan berjoget dengan Sumari. Sementara itu, Marni dan kawan-kawannya
menembangkan lagu sintren penuh semangat karena melihat antusias warga yang
menonton pertunjukkan tersebut.
Ayam walik selirik munggah kurungan
Ijo royo-royo, abang riyang-riyang
Tak delok penganten anyar
Setelah
hampir 1 jam menari, Sumari tidak sadarkan diri. Acara sintren ini harus diadakan
selama 40 hari berturut-turut. Dan pada malam yang ke-40 atau malam terakhir, harus
diadakan luaran. Luaran
merupakan salah satu kegiatan dalam kesenian sintren dengan
mengadakan selamatan
nasi golong panggang ayam dan menghias tempat sintren dengan berbagai buah dan
bunga. Setelah itu, sintren Sumari dan para panjaknya harus dibersihkan dengan cara mandi di Kali Lebeng agar terbebas dari energi
mistis dan tidak kerasukan lagi.
Editor : Suhirman