Perpustakaan: Wadah Peradaban Apresiasi Sastra
Perpustakaan:
Wadah Peradaban Apresiasi Sastra
Oleh Wahyu Mardhiyana Putra
Perubahan
berkembang sesuai dengan peradaban dan perkembangan jaman. Manusia akan
meninggalkan sejarahnya tanpa adanya buku. Keberadaan sastra, bacaan sastra,
dan tradisi membaca semakin tergeser oleh arus perkembangan jaman. Derasnya
ilmu teknologi, sains dan kebutuhan fisik lainnya yang dianggap mendesak
semakin menggerus dunia sastra. Jaman hadir dengan menyulap aneka peristiwa dan
informasi sebagai dunia hiburan yang menjadi
trend budaya. Buku dan tulisan akan segera ditanggalkan. Manusia semakin
terhanyut oleh derasnya arus jaman berbalut teknologi yang semakin membudidaya
dan melekat dalam diri masyarakat sekarang. Tinggallah manusia disebut sebagai
lompatan budaya.
Aspek-aspek
kesastraan berjalan dengan dinamis dan seimbang. Namun faktanya, tidak demikian
adanya. Karya sastra semakin tergeser
dan dikesampingkan, bahkan dianggap kurang penting. Minat baca dan menulis
siswa terhadap sastra mulai luntur. Sastra hanya dianggap sebagai hiburan dan
pelengkap mata pelajaran di sekolah. Pengetahuan dan pemahaman sastra bahkan
masih secuil dan sangat sempit dibandingkan dengan dunia teknologi dan sains,
dunia yang menyulap panggung teater manusia menjadi sebuah peradaban dan
budaya.
Sastra
bukan hanya sekedar naskah yang harus dihafalkan dan dipahami, terutama dalam
pembelajaran apresiasi sastra. Siswa tidak hanya dusuguhi dengan sajian
menghafal para sastrawan berikut karya-karyanya, teks-teks sastra dari unsur
pembungkusnya, namun siswa harus diajak mengapresiasi sastra (teks-teks sastra)
yang nyata, sesuatu yang dapat dinikmati isinya bukan hanya sekedar mengetahui
dari kulit luarnya. Dalam pembelajaran apresiasi sastra, siswa bisa diajak ke
perpustakaan untuk membaca buku-buku sastra yang bertujuan mendalami apresiasi
sastra berikut proses perealisasiannya, dengan catatan sekolah harus
menyediakan buku-buku yang memadai dan bermutu khususnya untuk menunjang
pembelajaran apresiasi sastra. Siswa bisa bersentuhan secara langsung dengan
berbagai disiplin ilmu melalui perpustakaan yang memadai dan bermutu. Dengan
demikian, siswa dapat membangun kepribadian yang aktif, mandiri, berwawasan,
berbudaya dan kreatif.
Pembelajaran
apresiasi sastra lebih menekankan pada bagaimana belajar menyikapi hidup dan
kehidupan. Manusia akan memperoleh asupan batin (rohani), berangkat dari nilai
yang terkandung dalam karya sastra sebagai dokumentasi yang mengkristal melalui
karya sastra sehingga asumsi hidup dan kehidupan lebih luas dan bermakna.
Pengetahuan dan pengalaman psikis manusia dapat diaplikasikan dan
direalisasikan melalui teks sastra. Permasalahan pokoknya terletak pada
bagaimana siswa dapat menikmati teks sastra jika dalam apresiasi sastra mereka
masih awam dan hanya menghafal teks-teks luar sastra berikut sastrawan dan karya-karyanya.
Watak seperti ini yang akan menjadi budaya jika terus menerus sengaja dibiarkan
tanpa adanya perubahan sikap dan tindakan yang tegas terkait dengan kepribadian
sastra. Jika hal ini terjadi, maka kita sendiri yang akan menjadi budak
peradaban tanpa mengindahkan sastra kaitannya dengan apresiasi sastra karena
kita tidak bisa menikmati betapa nikmat dan menyenangkan sastra itu.
Beralih
dari teks sastra, sudut pandang lain berdalih pada mutu pendidikan yang
menekankan pada kualitas dan kemampuan guru terkait dengan pembelajaran
apresiasi sastra. Bagaimana seorang guru harus mampu membangkitkan minat dan
pengetahuan tentang sastra yang bisa dinikmati bukan hanya sekedar naskah
hafalan yang bisa dibaca dan dilafalkan mengingat mata pelajaran sastra hanya
sekedar tambahan untuk Bahasa. Sedangkan pembelajaran apresiasi masuk dalam
lingkup sastra. Jika sastra semakin tersisihkan bagaimana dengan pembelajaran
apresiasi sastra? Mungkin sastra dianggap tidak terlalu penting dan mendesak,
bahkan bisa saja dilenyapkan dan sama sekali tidak disajikan jika guru tidak
mampu memberikan asupan sastra yang membangkitkan selera siswa bahwa sastra itu
benar-benar nikmat dan bukan hanya sekedar sajian yang bisa dilihat dan
diamati.
Perpustakaan
bisa menjadi wadah yang memadai, dengan tujuan memberdayakan apresiasi sastra
senantiasa mempertahakan kepribadian dan kedudukan sastra supaya tidak
tersisihkan dan dipandang sebagai sisa peradapan. Buku-buku di perpustakaan
bukan hanya pameran yang dipajang di etalase yang tidak bisa disentuh dan
dinikmati secara langsung. Justru dengan adanya buku-buku yang bermutu di
perpustakaan, dapat menjadi aset peradaban ilmu pengetahuan dan meningkatkan
apresiasi sastra siswa. Selain buku, pada dinding tembok bisa dipasang lukisan
ataupun tulisan-tulisan sebagai cerminan apresiasi sastra. Lebih efektif lagi
jika sekolah menyediakan minimal rak khusus untuk buku-buku sastra, dan dalam
lingkup maksimalnya dengan membangun perpustakaan khusus untuk sastra
(kebutuhan dan kegiatan apresiasi sastra). Namun hal ini masih dirasa sulit
untuk diwujudkan mengingat program dan anggaran dari masing-masing sekolah yang
otentik. Secara tidak langsung, sastra kembali pada hakikatnya melalui
apresiasi sastra yang direalisasikan melalui perpustakaan. Siswa dapat memahami
dan menikmati langsung bahwa sastra itu menyenangkan.